Dalam era digital yang serba cepat ini, film tidak lagi sekadar hiburan semata. Ia telah menjelma menjadi medium ekspresi budaya, identitas, dan bahkan perlawanan. Film bukan hanya soal aktor tampan atau efek visual menawan, tetapi juga refleksi dari kondisi sosial, politik, dan psikologis masyarakat tempat ia dilahirkan dutamovie21.
Di Indonesia, perfilman telah mengalami perjalanan panjang. Dari masa keemasan film nasional di era 1980-an, hingga sempat meredup di awal 2000-an, kini industri film tanah air kembali menunjukkan taringnya. Film seperti Laskar Pelangi, Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, dan Ngeri-Ngeri Sedap membuktikan bahwa kisah lokal bisa bersaing di kancah internasional.
Salah satu kekuatan film Indonesia terletak pada keberaniannya mengangkat realitas. Ketika banyak film Hollywood sibuk menjual fantasi dan pahlawan super, film Indonesia justru hadir dengan kisah sederhana yang menyentuh hati: tentang keluarga, pendidikan, perjuangan hidup, dan nilai-nilai lokal yang kerap luput dari perhatian.
Namun, tantangan tetap ada. Sensor berlebihan, pendanaan terbatas, dan dominasi film-film impor di bioskop menjadi penghambat bagi sineas lokal. Meskipun demikian, munculnya platform digital seperti Netflix, Vidio, dan KlikFilm membuka ruang baru bagi film-film independen dan eksperimental untuk menemukan penontonnya.
Menonton film kini bisa menjadi lebih dari sekadar kegiatan mengisi waktu luang. Ia bisa menjadi ajang refleksi, edukasi, bahkan aksi. Melalui film, kita bisa “berjalan” ke daerah terpencil, merasakan perjuangan orang lain, dan memahami realitas yang mungkin berbeda jauh dari kehidupan kita sehari-hari.
Sebagai penonton, kita punya peran penting. Dengan mendukung film lokal—baik dengan menonton di bioskop, streaming secara legal, maupun membicarakannya di media sosial—kita ikut menjaga keberlangsungan industri film nasional.
Karena pada akhirnya, film bukan hanya soal cerita di layar, tapi juga tentang siapa kita dan bagaimana kita ingin dikenang oleh generasi mendatang.